Belajar Dari Seorang Buffon
Tahun 2001, alias 16 tahun lalu, saat bergabung dengan Juventus, Gianluigi Buffon satu tim dengan Zinedine Zidane dan Antonio Conte, dua pelatih top Madrid dan Chelsea. Hari ini, saat rekan2 satu timnya sudah beranjak jadi pelatih hebat2, Buffon, dia tetap berdiri di bawah mistar gawang Juventus. Gagah perkasa. 600 menit lebih clean sheet di Liga Champions, nyaris tak ada kiper lain yang bisa menandinginya. Bahkan tim Barcelona yang punya Messi, Neymar dan Suarez tak mampu. Buffon lebih hebat lagi.
Tahun ini, Buffon punya kesempatan emas untuk merengkuh treble. Lebih penting lagi, menggapai Liga Champions. Dua kali Buffon kalah di final kompetisi ini. Salah-satunya sangat menyakitkan kalah adu penalti (yg jelas2 dia adalah faktor pentingnya). Musim ini, boleh jadi Juventus akan lolos ke final, bertemu Madrid. Saat itu terjadi, saya ingin melihat Buffon mengangkat tropi tersebut. Bukan karena saya sentimen dengan Madrid, apalagi karena saya pendukung Barcelona. Simpel, saya ingin melihat cerita ini happy ending. Lantas beberapa bulan kemudian, dunia melihat Buffon mengangkat piala Ballon d ‘Or, pemain terbaik sedunia. Piala itu tidak harus selalu diberikan kepada penyerang atau gelandang. Kiper sehebat Buffon berhak menerimanya.
Tapi sepakbola adalah sepakbola. Apapun bisa terjadi. Kalaupun Juventus gagal merengkuh treble. Kalaupun Buffon gagal mengangkat piala Liga Champions, dia tetap akan diingat orang sebagai salah-satu pemain hebat yang pernah ada. Kita bisa meneladani semangatnya. Usianya sudah mau 40, tapi dia tetap fokus. Usia kita mungkin baru setengahnya saja dari Buffon, apakah kita juga punya semangat membara seperti miliknya.
0 Response to "Belajar Dari Seorang Buffon"
Post a Comment